Suatu sore di sebuah warung bakso, Dika
dan Dena duduk saling berhadapan. Di atas meja di hadapan mereka terdapat botol
saos, tempat tisu, dan sebuah toples kecil yang isinya sambel cabai.
Dika menatap Dena dengan penuh nanar, Dena tertunduk diam seperti tidak ingin
melihat wajah Dika.
Dengan nada yang cukup berat dan pelan, Dika memulai pembicaraan.
Dika : Maafin aku.
Dena tidak merespon, masih tetap
tertunduk.
Dika : Aku tahu, aku salah,
semua ini terjadi begitu saja, aku minta maaf semaaf-maafnya.
Dena melihat ke wajah Dika, namun ia
lekas menundukan kepalanya kembali.
Dika : Sekarang aku pasrah, aku
bebasin kamu kalo mau marah ya silahkan, kamu mau ninggalin aku silahkan juga.
Dena merespon dengan senyum tipis,
sembari mengambil tisu yang ada di hadapannya, dan menggulung-gulungkannya.
Dika: Saat melakukan itu, aku inget
kamu, tetapi godaan lebih besar untuk aku tidak mengingat kamu.
Dena pun sekejap terdiam, tangannya
yang sedang menggulung tisu pun berhenti, dan menatap tajam ke arah Dika.
Dika : Aku saat itu memang
sangat membutuhkan seseorang, dan kamu jauh, jadi aku minta tolong orang lain,
dan semua itu terjadi begitu saja tidak ada cinta diantara kita, hanya
karena aku lelaki dan dia wanita…
Tukang bakso memotong pembicaraan
Dika
Tukang Bakso : Tadi bakso urat
dua porsi ya, teh manis dua ya, ini, silahkan. (Tersenyum)
Dika: Makasih ya, bang.
Tukang bakso pun pergi kembali ke
dapur, Dika menghentikan sejenak pembicaraan untuk menyantap bakso. Dena
sudah memalingkan pandangannya, kini ia tertunduk kembali sembari
menyantap bakso.
Mereka menyantap bakso dengan pandangan kosong. Tidak sampai habis, Dika
melanjutkan pembicaraannya.
Dika : Aku tidak tahu, kata apa
selain ‘maaf’ yang harus aku ucapkan saat ini.
Dena sehabis menyuap bakso yang
tidak sampai habis, meminggirkan mangkok baksonya, ia minum, dan mengambil
tisu untuk mengelap mulutunya, dan tertunduk kembali.
Dika : Sekarang, aku ingin kamu
ungkapin semua perasaan kesal kamu ke aku.
Kembali Dena menatap Dika dengan
pandangan tajam dan sayu.
Dika: Apa masih ada maaf yang
tersisa untuk aku? (tanya Dika)
Dena memandang Dika dengan tatapan
kosong. Bibirnya bergerak seakan ingin berbicara namun tak kuasa.
Dengan pasti,
ia berkata.
Dena : Kamu tidak perlu meminta
maaf, kamu tidak perlu merasa bersalah, karena akupun begitu.